PENULISAN SINGKATAN DAN AKRONIM
Singkatan merupakan perpendekan serangkaian kata ke dalam bentuk beberapa huruf. Kata-kata yang dimaksud biasanya merujuk kepada nama lembaga, bidang studi, nama tempat, atau istilah. Umumnya huruf-huruf yang membentuknya adalah huruf-huruf awal dari kata-kata tersebut. Cara membacanya pun beragam, tergantung huruf-huruf yang membentuknya. Misal, “IPA” akan diucapkan “I-Pa” karena memiliki huruf vokal “A” di belakang . Rasanya kita jarang sekali mendengar orang menyebut “I-P-A”. Namun “IPS” akan dibaca “I-P-S” karena terdiri dari dua huruf mati atau konsonan yang mengakhiri singkatan. Mustahil rasanya saat ditanya mengenai jurusan, orang menjawab, “Saya jurusan Ipssss!”
Tapi masyarakat kita seringkali mengasosiasikan akronim sebagai singkatan. Meski fungsinya sama-sama sebagai penyingkat, tapi akronim memiliki bentuk yang berbeda dengan singkatan. Akronim dibentuk dari kumpulan suku kata dari kata-kata yang disingkatnya. Nah, faktor terpenting yang membedakan singkatan dan akronim adalah penggunaan huruf besar dan kecil. Akronim cenderung ditulis sebagaimana layaknya nama lembaga atau orang: diawali huruf besar, sisanya huruf kecil. Dan membacanya tidak pernah dengan cara mengeja, melainkan selalu mengucapkannya seperti membaca kata biasa. Misal, “Depdagri”.
Nah, lantas apa yang menjadi salah kaprah? Ya itu tadi, penyalahgunaan huruf besar dan kecil. Masyarakat cenderung menuliskan akronim dengan huruf besar semua. Misal, “Saya kuliah di UNPAK.” Padahal yang betul seharusnya, “Saya kuliah di Unpak.” Karena setiap huruf dalam kata “Unpak” bukan penyingkat. Yang menjadi penyingkat adalah suku kata “Un” dan “Pak”.
PENYALAHGUNAAN BEBERAPA KATA
Ubah atau Rubah?
“Kau boleh acuhkan diriku… dan anggap ku tak ada… tapi takkan merubah…” Sebuah petikan lagu yang sangat indah dari seorang Once. Saya pun suka. Tapi kata “merubah” itu lho… mengganjal sekali! Mana sudah terlanjur “diakui” menjadi karya seni pula, huft….
Yah, akuilah kalau kita cenderung menggunakan kata “merubah” atau “dirubah” dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin “kambing hitam”-nya adalah kata “berubah” yang sudah sangat familiar di telinga kita. Sehingga tanpa sadar kita kebiasaan menerapkannya juga dalam imbuhan me- dan di-.
Padahal yang paling tepat adalah “mengubah” dan “diubah”. Karena kata dasarnya adalah “ubah”. Coba deh, cari kata “rubah” di kamus. Pasti definisinya mengenai sejenis hewan dan tak ada sangkut-pautnya dengan “rubah” yang kita maksud. Mungkin bisa dimaafkan bila kita keceplosan menggunakan kedua kata yang salah kaprah itu dalam percakapan sehari-hari, tapi jangan sampai “keceplosan” menggunakannya dalam karya tulis, yaaa…!
“Ku mempunyai dua hati yang tak bisa, ‘tuk kutinggali….” Pasti familiar dong, sama petikan lagu nakal milik T2 ini. Ya, lagi-lagi ada kesalahkaprahan bahasa yang terlanjur “diakui”. Memang, dalam beberapa kata, imbuhan belakang –kan dan –i tidak benar-benar sepadan. Contoh, “membubuhkan” dan “membubuhi”. Yang membedakan adalah, kata pertama cenderung merujuk pada apa yang dibubuhkan pada sesuatu, maka kita ambil contoh kalimat: “Saya membubuhkan tanda tangan di kertas”. Sementara pada kata kedua, mengacu pada apa sesuatu yang dibubuhi, maka bentuk kalimat yang ideal adalah, “Saya membubuhi kertas dengan tanda tangan”. Mau contoh lain? Oke, misalnya, “memasukkan” berarti si subjek membuat sesuatu masuk ke dalam sesuatu, sementara “memasuki” artinya si subjek sendiri yang masuk ke dalam sesuatu.
Nah, ketahuan dong, kalau petikan syair T2 itu salah besar? Bahkan dari makna pun sudah berbeda meski kata dasarnya sama. “Kutinggalkan” artinya si “aku” menjauh dari sesuatu, sementara “kutinggali” berarti “aku” TINGGAL DI DALAM sesuatu. Mungkin penggunaan kata “kutinggali” ini dimaksudkan agar senada dengan kata di bait sebelumnya, yakni “dua hati”. Tapi rasanya nggak usah maksain juga kan, Mas Dodhy? Atau memang Anda nggak tahu? ***sombong***
Kau-
“Kau” adalah salah satu bentuk kata ganti orang kedua tunggal. Yang menjadi salah kaprah adalah penggunaan kata “kau-” yang diikuti beberapa kata kerja tertentu. Sama seperti “ku-”, kata “kau-” seharusnya digabung dengan kata kerja yang mengikutinya. Misal, “kaupikir”, “kauambil”, “kaurasakan”, atau “kausimpan”. Tapi hal ini tidak berlaku untuk kata ganti “kamu”, “Anda”, “sampeyan”, “ente”, “yey”, dan lainnya karena “kau-” di sini sepadan dengan “ku-” (bukan “aku”).
Geming, Seronok, dan Acuh
Salah satu penyakit berbahasa yang terparah adalah ketika makna suatu kata diubah menjadi sangat kontradiktif dengan makna aslinya. Salah satunya “geming”. Makna asli dari kata ini adalah “bertahan” atau “tetap pendirian”. Contoh kalimatnya: “Meski sudah dibujuk, saya tetap bergeming.” Tapi belakangan maknanya diputarbalikkan seratus delapan puluh derajat menjadi “berubah pendirian”. Contoh kalimat: “Karena dipaksa sedemikian rupa, akhirnya dia bergeming.”
Di samping itu, ada juga kata “seronok”. Entah siapa yang menyesatkan arti kata ini menjadi sangat negatif. Mungkin karena penggalan bunyi kata “-ronok” yang tidak enak didengar secara verbal, sehingga menimbulkan kesan bahwa kata “seronok” berarti “tidak sopan” atau “tidak enak dipandang”. Padahal makna “seronok” justru “sopan” atau “sedap dipandang”. Jadi, salah besar kalau ada yang bilang, “Pakaian pelacur itu seronok sekali!”
Terakhir, ada lagi kata yang maknanya seenaknya dibolak-balik laksana martabak emih. Yakni “acuh”. Seperti kata “seronok”, mungkin bunyi kata “-cuh” itu yang menimbulkan asumsi salah mengenai makna kata “acuh”. Pernah saya menemui kalimat, “Saya sakit hati karena ucapan saya diacuhkan.” Lha, ucapan diacuhkan kok sakit hati, sih? Harusnya senang dong, karena artinya ucapan tersebut DIPEDULIKAN
kata gabung
Ragam jurnalistik ini banyak digunakan dalam persurat kabaran.
-> Kesalahan kalimat tersebut terletak pada penulisan kata persurat kabaran. Memang betul, kata gabung seperti surat kabar, tanggung jawab dan sebagainnya dituliskan terpisah. Tetapi apabila kata-kata tersebut mendapat awalan dan akhiran, harus dituliskan serangkai. Jadi penulisan yang betul: persuratkabaran, pertanggungjawaban.
Contoh lain:
memberi tahu -> pemberitahuan
ambil alih -> pengambilalihan
gotong royong -> kegotongroyongasn
tidak adil -> ketidakadilan
salah guna -> disalahgunakan
jungkir balik -> dijungkirbalikkan
menyingkat waktu
Untuk menyingkat waktu, marilah kita mulai acara ini.
->Waktu tidak dapat dipersingkat; karena itu kalimat tersebut salah. Yang betul: Untuk menghemat waktu, marilah kita mulai acara ini.
saling
Sebagai sesama manusia, kita wajib saling tolong-menolong.
-> Kata saling sudah menunjuk pengertian dilakulkan oleh dua belah pihak; sama benar dengan bentuk tolong-menolong. Maka yang betul: sebagai sesama manusia, kita wajib saling menolong; atau: sebagai sesama manusia, kita wajib tolong menolong. Bentuk yang sejenis dengan bentuk tersebut.
Saling kejar-mengejar seharusnya: saling mengejar, kejar mengejar atau berkejar-kejaran.
Saling pegang-memegang seharusnya: saling memegang, pegang-memegang atau berpegang-pegangan.
Bentuk seperti di atas, termasuk gejala pleonasme.
pelopor
Salah seorang yang mempelopori berdirtinya koperasi di desa ini ialah bapak saya.
-> Yang betul memelopori. Kata tersebut berasal dari kata dasar pelopor. Karena awalan me yang melekat padanya, maka bunyi p-nya luluh; dan menjadi memelopori.
dipersilahkan
Para tamu dipersilahkan masuk.
-> Kesalahan kalimat tersebut pada penulisan kata dipersilahkan. Kata tersebut seharusnya dituliskan tanpa h: dipersilakan.
waktu dan tempat saya persilakan
->Kalimat ini sering sekali dipakai orang, padahal kalimat tersebut salah. Siapa yang biasannya dipersilakan? Jawabannya tentu saja bukan waktu dan tempat, melainkan orangnya. Karena itu, mestinya kalimat tersebut kita ubah:
-> Bapak atau Saudara............saya persilakan.(isilah titik-titik terwsebut dengan nama orang atau pejabat yang akan memberi sambutan)
Nah, itu baru segelintir dari seluruh kesalahan tata bahasa yang sudah terlanjur menjadi kebiasaan masyarakat kita. Kalau sampai kebiasaan ini mendarah daging dalam diri anak cucu kita kelak, wah, bahaya tuh! Bisa-bisa bahasa Indonesia yang baku benar-benar musnah di kemudian hari.
Memahami bahasa Inggris sebagai bahasa internasional memang suatu keharusan. Tapi jangan sampai jadikan hal itu sebagai alasan untuk bergaya sok keinggris-inggrisan. Kalau masyarakat Indonesia sendiri banyak keliru dalam menggunakan bahasa Indonesia, wah, lantas siapa yang harus melestarikan bahasa nasional kita ini? Orang Amerika? Orang Malaysia? Orang Zimbabwe? Tidak mungkin, bukan?
Bahasa Indonesia adalah identitas bangsa, seharusnya perkembangan zaman dan perubahan teknologi komunikasi tidak bisa menggerusnya, apalagi hanya demi pergaulan.
(storyunic)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar