Waktu tempuh menuju Otvai dan Omtel
antara 30 dan 50 menit, padahal jaraknya hanya 10 km. Maklum, jalannya
cenderung menanjak sampai pada ketinggian 600 kaki di atas permukaan
laut.
Kendati demikian, perjalanan terasa
nikmat. Selain karena udaranya sejuk, mata rombongan juga dimanjakan
oleh hijaunya hutan tanaman kemiri, cengkeh, kopi, jati, mahoni, johar,
dan cendana di kiri-kanan jalan.
Saat tiba di kawasan hutan Otvai,
wartawan lebih memilih melihat langsung lokasi cendana yang dikembangkan
di atas lahan seluas 54 hektar sejak tahun 1986 itu. Cendana di hutan
itu tingginya bervariasi 3-7 meter dengan diameter 30-80 cm. Mobil lalu
bergerak menuju kawasan hutan Omtel. Di hutan Omtel terdapat pohon-pohon
cendana yang dikembangkan sejak tahun 2007.
Sesudah mendapatkan data yang cukup,
wartawan dan Kadis Huan hendak kembali ke Kalabahi. Waktu menunjukkan
pukul 11.00 Wita. Dalam perjalanan pulang, masih di kawasan puncak hutan
Omtel, Kadis Huan mengajak wartawan rehat sebentar di sebuah pondok
milik Dishut di kawasan hutan. Pondok itu berdinding bambu, berlantai
semen kasar, dan beratap seng.
Di dekat pintu masuk dapur pondok
itu, seorang anak muda berkepala botak, bercelana pendek, berbaju kaus
bundar leher, lengan potong tengah sedang duduk di balai-balai bambu
sambil menyandarkan bahunya di dinding.
Ketika melihat Kadis Huan, anak muda
itu langsung menyapa dan menyampaikan keluh-kesahnya mengenai kebutuhan
dapurnya. Kadis Huan sempat mengobrol dengannya, menanyakan kondisi
hutan dan anakan berbagai tanaman yang disemaikan di lokasi tersebut.
“Anak muda ini namanya Beny Oko (27).
Dialah yang menjaga hutan di kawasan ini. Dia telah menyatu dengan alam
hutan ini sejak tahun 2000. Dia mendiami pondok ini sendiri,” kata Huan
memperkenalkan Beny sambil bercanda bahwa anak muda itu bisa terbang.
Canda Huan ini langsung ditanggapi
serius oleh wartawan, mengaitkannya dengan kekuatan magis. Wartawan
menanyakan kepada sejumlah orang yang kebetulan berada di pondok itu
mengenai ilmu yang dimiliki Beny. Namun, mereka enggan memberi jawaban.
Mereka minta wartawan menanyakan langsung kepada Beny.
Obrolan langsung terjadi dengan Beny.
Menurut Beny, rumah orangtuanya terdapat di wilayah Kenarilang, Kota
Kalabahi. Dia putra bungsu dari empat bersaudara. Tidak tamat SD, hanya
sampai di kelas V. Namun Beny mengaku bisa membaca dan menulis.
Dia tidak melanjutkan sekolah karena
kondisi tubuhnya yang cacat. Kakinya pincang. Kalau berjalan, dia harus
dibantu dengan tongkat. Cacat itu dialaminya sejak masih kecil.
Beny melanjutkan, dirinya mulai
menempati pondok di kawasan hutan Omtel sejak tahun 2000. Ketika itu,
dia bersama sejumlah warga datang ke kawasan hutan itu untuk mengerjakan
proyek penghijauan Dinas Kehutanan Kabupaten Alor.
Setelah proyek selesai, dia tetap
berada di pondok itu seorang diri. Beny mengungkapkan, pada saat awal
tinggal di pondok itu, perasaan takut menyelimutinya. Setiap malam dia
mendengar bunyi-bunyi aneh di hutan. Ada anak kecil menangis, orangtua
memarahi anak-anaknya. Juga terdengar suara banyak orang yang tengah
pesta pora.
Beny melanjutkan, dia mulai berani
tinggal di hutan tersebut sejak mendapat ilmu dalam sebuah mimpi tidur
malam. “Pada suatu malam ketika saya tertidur, saya bermimpi. Ada
beberapa orangtua datang menghampiri saya. Mereka memeluk saya sambil
mengatakan, ‘Kami ini nenek moyang kamu.’ Mereka pun mulai memutar film
adegan berkelahi. Lalu mereka menanyakan, ‘kamu mau yang ini?’ Namun
saya menolak. Berikutnya, mereka memutar film orang bisa terbang.
Setelah selesai film itu, mereka kembali tanya, ‘kamu mau ilmu ini?’
Saya langsung menyatakan mau, dan ketika bangun pagi, dalam diri saya
seperti ada kekuatan,” ujar Beny.
Bekal ilmu yang didapatnya itu, kata
Beny, sangat membantunya bepergian ke tempat jauh, seperti ke Kota
Kalabahi atau desa-desa lain di daerah itu. Dia bisa jalan cepat dalam
kondisi kaki pincang. Dia bisa terbang menuju ke suatu tempat. “Kekuatan
yang saya dapat bukan hanya untuk jalan saja, tetapi membantu saya
bekerja di hutan ini. Sebelumnya—karena cacat—saya tidak bisa mengangkat
kayu, tetapi setelah mendapat ilmu itu, meskipun dengan kondisi cacat,
saya bisa mengangkat kayu,” tutur Beny.
Selain mendapat ilmu terbang, Beny
juga mengaku, selama menempati hutan itu dia berteman dengan makhluk
halus, arwah orang yang telah meninggal, dan kuntilanak. “Makhluk halus
biasanya datang pada saat saya sendiri. Kalau ada orang yang mau
meninggal dunia, biasanya hutan ini ramai seperti orang pesta. Namun,
saya tidak melihat wujud mereka. Kadang-kadang orang-orang mati ini
menemani saya pada pagi hari yang masih gelap ketika saya membuat
perapian untuk berdiang. Ada yang datang membunyikan pohon bambu di
hutan ini,” tutur Beny lagi.
Kuntilanak, kata Beny, menjadi
temannya hampir setiap saat. Datangnya kuntilanak biasa ditandai dengan
suara tikus di luar pintu. Ketika dibuka, mahkluk ini sudah ada. Busana
kuntilanak semuanya warna putih, rambutnya air panjang sampai di bokong.
“Cantiknya luar biasa, paling cantik
di dunia. Kulitnya putih seperti China. Lebih cantik daripada nona-nona
di Kalabahi, di Kupang, atau Jakarta. Ini China, Taiwan,” ujar Beny
sambil mengatakan nama kuntilanak itu Lin.
Beny mengatakan, hubungannya dengan
kuntilanak yang datang hanya sebatas teman cerita, tidak lebih dari itu.
“Lin biasa membawa makanan untuk saya. Makanan mereka seperti yang
biasa orang makan: ada daging ayam, ikan, sayur. Pokoknya enak. Tapi
saya tidak mau. Kita cerita saja. Kita sudah anggap saudara,” ungkap
Beny.
Di akhir ceritanya, Beny berharap ada
perhatian dari pemerintah terhadap dirinya. Sebab, meskipun dengan
kondisi cacat, dia bisa menjaga kelestarian hutan di kawasan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar